Tuesday, December 11, 2007

Menengok ”Urban Tourism” di Singapura

SINGAPURA mungkin merupakan salah satu contoh sukses tourist city di Asia Tenggara. Negara pulau yang mewarisi banyak bangunan dan kawasan historis ini, kini menjadi tujuan wisata internasional. Padahal, dalam dekade 1970-an, bangunan-bangunan tersebut hampir musnah tergusur bangunan-bangunan modern akibat economic boom yang melanda negara itu. THE Supreme Court, terletak di St. Andrew’s Road dan dibangun tahun 1939, masih berdiri megah dengan pilar-pilar bergaya Doric dan Corinthian. Tidak jauh dari situ, Raffles Hotel, dibangun tahun 1887, terlihat anggun dalam warna putihnya, sangat khas bangunan masa kolonial Inggris.

Raffles Hotel SingapuraDi sepanjang waterfront Singapore River, barisan rumah-rumah tua tiga lantai (kini restoran dan klub) membentuk kawasan wisata terkenal Boat Quay. Di banyak sudut kota, masih dapat dijumpai kuil Cina dan Hindu, gereja, dan masjid berusia puluhan tahun. Tidak ada kesan suram atau terabaikan pada bangunan-bangunan tersebut. Semua terlihat ”segar” dan ”stabil” berkat perawatan yang memadai.

Tampaknya semua itu adalah hasil kedisiplinan dan usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan warga Singapura dalam mejaga aset wisata negara mereka.

Tidak ada kawasan pantai dengan nyiur melambai sepanjang puluhan kilometer atau kawasan pegunungan sejuk dengan hutan pinusnya seperti yang kita miliki. Singapura sadar betul akan minimnya sumber daya yang mereka miliki. Negara seluas 646 km2 ini (hampir sama dengan DKI Jakarta) hanya mengandalkan sekira 3,2 juta jiwa penduduk sebagai sumber daya satu-satunya.

Hasilnya? Suatu negara kecil dengan rata-rata 7 juta wisawatan mancanegara setiap tahunnya (pertengahan dekade 1990-an), lebih banyak dari penduduknya sendiri. Untuk tahun 2001 lalu, Singapura menerima 5.031.910 pengunjung (mengalami penurunan setelah krisis yang menimpa Asia Tenggara dan tragedi WTC di New York). Pariwisata Singapura telah menyumbang 5% terhadap GDP negara. Oleh karenanya, pariwisata internasional telah menjadi komponen penting bagi perekonomian Singapura.

Pola pengembangan pariwisata Singapura yang mengacu pada pola Urban Tourism yang umum diterapkan di Eropa, Amerika Utara, dan Australia, telah berhasil menjadikan negara yang merdeka tahun 1965 ini sebagai daerah tujuan wisata baru di Asia Tenggara sejak akhir 1980-an. Berkurangnya kunjungan wisatawan mancanegara tahun 1970-an, akibat penggusuran bangunan historis secara besar-besaran setelah economic boom, telah menyadarkan pemerintah setempat akan pentingnya pelestarian warisan budaya.

”Singapore Heritage Society” bekerjasama dengan Harvard Univesity dan Massachussets Institute of Technology pada tahun 1984, mulai menyelamatkan dan mendesain ulang sejumlah bangunan lama yang memiliki nilai seni dan arsitektur, di samping lorong-lorong jalan, kawasan historis, dan situs sejarah.

Singapore Tourism Board/STB (www.newasia-singapore.com) terkesan sangat ambisius dalam ”menjual” aset wisata negara itu kepada wisatawan. Saking gencarnya, STB terkesan bagai menjalankan suatu perusahaan marketing. Dengar saja misinya: To ensure the continued viability of the tourism industry and of Singapore as a destination. Sedangkan visinya? A Tourism Capital, providing memorable experiences for visitors, a Tourism Business Center, atracting world-class tourism products and players, and a Tourism Hub, providing springboard of region.

SEJARAH Singapura dimulai ketika Raffles mendirikan pos perdagangan untuk Inggris tahun 1819, yang kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan internasional karena letaknya yang strategis. Mendengar prospek masa depan suatu pulau di ujung Semenanjung Malaka, ditambah kebutuhan akan tenaga kerja kasar berupah rendah (coolie), berbondong-bondonglah pendatang dari daratan lain, utamanya Cina dan India.

Kini sebagai negara multikultur (dengan komposisi 76% etnis Cina, 14% etnis Melayu, 7% etnis India, dan sisanya berbagai etnis lain), Singapura memiliki daya tarik unik bagi wisatawan dunia. Manifestasi keragaman budaya di Singapura telah memberi kontribusi pada wajah kota, mulai dari arsitektur, kesenian, kulinari, hingga cinderamata. Tidak salah apabila STB menentukan New Asia sebagai destination brand Singapura. Label yang sedang gencar-gencarnya dipromosikan itu memposisikan Singapura sebagai suatu negara kota multikultur yang hidup dan mutakhir. Tradisi dan modernitas, budaya Timur dan Barat, serta bentuk lama dan baru, berpadu dengan unsur alam untuk menciptakan suasana harmonis yang unik.

Semangat Singapura mempromosikan turisme-nya didukung pula oleh ketersediaan infrastruktur dan fasilitas wisata yang komprehensif dan efisien. Proses restrukturisasi kota agar dapat berfungsi secara eksklusif bagi kegiatan turisme telah dikembangkan sejak dekade 1970 atau 1980-an. Contohnya Orchard Road, yang pada akhir abad 19 merupakan area perkebunan pala dan lada, kini menjadi semacam shoppers’ paradise, dengan barisan mall megah, pusat perbelanjaan modern yang menawarkan berbagai produksi dari seluruh dunia, serta sistem transportasi yang sangat nyaman.

Yang menarik, walau Singapura memiliki image sebagai negara modern dengan gedung-gedung bertingkatnya, negara ini sangat memperhatikan lingkungan hijau. Untuk menyelamatkan kawasan alami, pemerintah Singapura telah menerapkan green policy sejak tahun 1967. Saat ini Singapura memiliki hampir 5.000 hektar taman, kawasan hijau, dan penghijauan di pinggir jalan.

Kekayaan budaya Singapura juga menjadi inspirasi bagi STB untuk mengangkat dan menyelenggarakan event-event, seperti kesenian, budaya, olah raga, kulinari, fesyen, dan belanja. Beberapa kawasan etnis, seperti Chinatown, Little India, dan Geylang Serai (Melayu), dipertahankan nilai keasliannya dan kerap menggelar festival budaya bernuansa etnis.

Fakta bahwa Singapura menjadi homebase bagi ratusan perusahaan multinasional, menjadikan Singapura sebagai Eventful City. MICE (meeting, incentive, conference, and exhibiton) berskala internasional kerap digelar di pusat-pusat event, seperti Singapore Expe dan Singapore Internasional Convention and Exhibition Center, lengkap dengan prasarana dan sarananya yang memadai. Dengan beragam daya tarik dan potensi yang dimiliki, STB melakukan marketing campaign ”Live It Up in Singapore”. Kampanye ini mendorong pengunjung untuk menikmati kunjungannya dalam semangat kota yang hidup, dengan aneka ragam kesenian, budaya, lingkungan yang bersih dan hijau, serta denyut kehidupan malam dan kebahagiaan keluarga.

Target bidik pasarnya mencakup kelompok pengunjung MICE, senior (manula), yuppies, keluarga, wanita karir muda yang sedang melakukan perjalanan wisata, kesehatan, dan pendidikan.

Menurut data tahun 2001, Indonesia mendukuki peringkat pertama wisatawan terbanyak di Singapura (17,3%), diikuti berturut-turut oleh wisatawan Jepang, Cina, Australia dan Malaysia. Proses konservasi dan revitalisasi aset budaya, ditambah penyediaan prasarana dan sarana wisata pendukung yang komprehensif, telah berhasil dijalankan Singapura. Kini Singapura merupakan negara ASEAN terbanyak penerima kunjungan wisatawan mancanegara setiap tahunnya.

Oleh: Teguh Amor Patria
Sumber: Pikiran Rakyat, Minggu, 16 Pebruari 2003.
___________________________________
Let's Look at The Window of Our Beautiful World

No comments: