Tuesday, November 27, 2007

Tatkala Sungai Tidak Lagi Jadi Urat Nadi Kota

TIDAK sedikit penduduk Bandung yang hingga kini masih menyimpan kenangan indah tentang sungai-sungai yang ada di dataran tinggi Bandung. Wartawan H Uyeh Sutiarsa Riestu alias H Us Tiarsa R (59) mempunyai kenangan tersendiri tentang Sungai Cikapundung sebagaimana dituturkan dalam Basa Bandung Halimunan (Tatkala Bandung Masih Berselimut Kabut).
Bersama dengan teman-temannya yang sebaya, mereka biasa menyusuri Sungai Cikapundung sebagai tempat bermain. "Badan sungainya masih lebar dan airnya bening," kenangnya dalam bahasa Sunda. Di beberapa tempat tertentu, mereka menggunakannya sebagai tempat mandi dan sekaligus memperlihatkan kemampuan berenang.
Sayang, karena air buangan dari pabrik kina, saat itu ikan-ikannya sudah kurang disukai karena sering bau minyak tanah. "Kayaknya, memang sejak dulu Sungai Cikapundung sering dijadikan tempat pembuangan limbah," tuturnya selanjutnya.
SUNGAI Cikapundung merupakan salah satu dari dua anak Sungai Citarum terbesar setelah Cisangkuy. Jika Sungai Cikapundung berhulu di bagian utara Bandung, hulu Cisangkuy terletak di dataran tinggi Bandung selatan. Kedua anak sungai tersebut bermuara pada satu lokasi yang berdekatan di Sungai Citarum.
Menurut kisah para orang tua, jauh sebelum ada jalan yang menghubungkan daerah-daerah pedalaman, kedua anak sungai tersebut dan anak-anak Sungai Citarum lainnya merupakan jalur transportasi yang banyak digunakan penduduk. Mereka mengangkut hasil pertanian dengan menyusuri sungai-sungai tersebut, sehingga atas dasar itu pula Bupati Bandung yang pertama, pada tahun 1641, Tumenggung Wiraangun-angun, membangun ibu kotanya di dekat muara Sungai Cikapundung.
Ketika itu tentu saja air Sungai Citarum dan sejumlah anak sungainya masih belum tercemar. Bahkan sampai masa kolonial, dalam berbagai kesempatan, kuncen Kota Bandung, Haryoto Kunto (alm), mengungkapkan, betapa penting peran Sungai Cikapundung dalam menunjang kegiatan masyarakat Kota Bandung.
Airnya yang masih bersih digunakan penduduk sepanjang sungai tersebut untuk mandi dan mencuci pakaian. Pada hari libur atau hari Minggu, penduduk kota beramai-ramai berekreasi di Cikapundung.
Sekelumit kisah itu tentu saja hanya merupakan warisan yang sulit terbayangkan kapan bisa terulang, walaupun berbagai upaya sudah dilakukan. Pada masa periode Wali Kota Wahyu Hamijaya dan Sekkota Drs H Diding Kurniadi Msi misalnya, ratusan orang diterjunkan untuk membersihkan sungai tersebut. Aliran sungai dari viaduct sampai Jalan Asia-Afrika rencananya akan dijadikan lokasi wisata air.
Akan tetapi, entah bagaimana nasib ikan-ikan tersebut selama ini. Mungkin sebagian ikut hanyut terbawa air Cikapundung pada saat meluap. Atau tidak mustahil mabuk dan kemudian mati karena tidak tahan berada dalam lingkungan yang sudah tidak lagi mampu memenuhi daya dukung hidupnya.
PARA pengamat lingkungan di Bandung sudah lama menyadari terjadinya perubahan fungsi sungai tersebut yang telah mengakibatkan kemerosotan mutu air yang luar biasa. Jika dulu air sungai tersebut masih mempunyai manfaat sosial dan ekonomi, kini sungai-sungai tersebut sudah dijadikan semacam tempat pembuangan yang menampung berbagai macam limbah hasil kegiatan manusia di sekitarnya.
Di daerah-daerah padat penduduk, sungai dijadikan tempat pembuangan sampah sisa kegiatan rumah tangga. Sedangkan di daerah-daerah industri, badan sungai menjadi tempat pembuangan limbah sehingga tidak jarang menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitarnya.
Lihat saja misalnya daerah Rancaekek yang selama ini dijadikan kawasan industri di Kabupaten Bandung. Sekitar sepuluh atau dua puluh tahun lalu, daerah itu merupakan penghasil komoditas pertanian yang terkenal. Siapa yang tidak tahu ikan mas dari Rancaekek yang rasanya gurih dan siapa yang tidak ketagihan dengan beras yang dihasilkan para petani di daerah tersebut?
Masyarakat di daerah itu yang sebagian besar hidup sebagai petani, lebih dari enam tahun lalu memperjuangkan nasibnya agar industri yang bertebaran di daerah mereka tidak membuang limbah seenaknya. Tetapi, kekuasaan dan kekuatan kadangkala tidak berpihak kepada orang banyak yang lemah, walaupun benar.
Akibatnya, "Sekadar untuk memperoleh air bersih agar bisa diminum, kami harus bersusah payah memperoleh dari daerah lain karena air sumurnya sudah tercemar," keluh penduduk Rancawaru, Desa Sukamulya.
SEBAGAI sungai utama, Citarum dengan sendirinya harus menampung semua polutan yang diangkut sejumlah anak sungainya. Dari hulunya yang masih bening di kaki Gunung Wayang, air Citarum Hulu mengalami berbagai pencemaran dari berbagai sumber. Sumber pencemaran di daerah hulu umumnya berasal dari sedimentasi dan bahan kimia sisa aktivitas pertanian.
Makin ke hilir, air sungai mengalami pencemaran, baik akibat bahan kimia sisa kegiatan industri, maupun kegiatan rumah tangga.
Air sungai yang mengandung limbah kimia sebagian besar merupakan sumbangan dari Sungai Citarik dan Cisangkuy. Kedua sungai tersebut menurut hasil penelitian, memiliki kandungan biological oxygen demand (BOD) yang terus meningkat.
Selain dari kedua sungai tersebut, masih terdapat daerah-daerah lain yang memiliki potensi memberikan sumbangan limbah kimia terhadap Sungai Citarum. Daerah seperti Majalaya, Dayeuhkolot, dan Rancaekek selama ini merupakan daerah zona industri, di mana sebagian besar merupakan industri tekstil.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, industri yang jadi pelaku sumber pencemaran tersebut bisa diseret ke pengadilan. Tetapi dari pengalaman selama ini tidak mudah menyeret mereka, karena pada umumnya, pembuangan limbah kimia sulit dideteksi.
Selain limbah kimia yang berasal dari kegiatan industri, Citarum dan sejumlah anak sungainya sudah lama dijadikan tempat pembuangan limbah rumah tangga. Bahkan, limbah yang terakhir ini jauh lebih potensial dalam memberikan sumbangan pencemaran.
Dari sekitar 280 ton limbah yang disumbangkan untuk Sungai Citarum setiap harinya, diperkirakan sekitar 85 persen di antaranya, atau sebanyak 240 ton berasal dari limbah rumah tangga. Selain berupa limbah cair seperti sisa deterjen, sebagian lainnya berupa limbah padat seperti sampah sisa pengolahan sayuran, kantung-kantung plastik sampai sandal jepit serta botol atau gelas kemasan yang tidak mudah larut.
Karena semua limbah tersebut bermuara di Citarum Hulu, entah apa predikat yang paling tepat untuk sungai tersebut.
Oleh: Her Suganda
Sumber: Kompas, Rabu, 18 Desember 2002


No comments: