Monday, November 26, 2007

Menata Kota Kok Dari Puisi Sebatas Kartu Pos

KIRA-KIRA setahunan belakangan, nyaris di setiap persimpangan kota Bandung terdengar kanak-kanak mengamen. Mereka sepertinya sempat punya lagu wajib. Tubuh-tubuh kecil menempel di pintu angkutan kota menyanyikan lagu standar itu. Saya lupa bunyi persis syairnya. Yang tertanam dalam ingatan saya ada kata-kata "Bandung... Bandung..." lalu "melayang layang....melayang layang...".
Dan jalan layang itu memang terbentang, Pasupati. Ia membelah kota dengan angkuhnya. Projek kolaborasi berbagai anasir yang "melayang-layang" ini baru saja diresmikan. Di bawahnya, pohon-pohon palem dan perumahan padat para warga, tergerus habis. Mulut-mulut Pasupati senantiasa menyemburkan sederetan mobil untuk menambah kemacetan kota. Ya, kota bentukan dari cekungan purba yang tentunya tidak bertambah luas ini. Sebab itukah maka ia jalan yang melayang? Kepada siapa tiang-tiang pancang itu menjejakkan etiknya?
Ke hadapan warga, kini yang ada melulu asap knalpot. Warga cuma dibikin melongo ketika pada bulan-bulan lalu, ada perahu-perahu yang ujug-ujug nangkring di Cikapundung --berhias cat masih mengilat. Itulah perahu-perahu yang seakan berkata "Ini diriku sebagai kacamata sejuk untukmu. Pakai biar keren dan rapi. Mau ada tamu!" Trotoar-trotoar pun bersalin rupa --celakanya, ia ditutupi ubin yang tak berpori sehingga curahan air terhambat untuk merembes ke tanah.
Apapun, lantas di jalan protokol itu, tampillah para pemimpin negeri-negeri dari dua benua menebar senyum. Langkah-langkah mereka tampak mengais-ngais sejarah Konferensi Asia Afrika. Di bawah naungan matahari Bandung pada April 2005, historical walk itu tersaji di jalan aspal berlapis karpet dan terisolasi di dalam lingkaran penjagaan ketat pasukan keamanan bersenjata tempur. Kepada siapakah para pemimpin negeri-negeri itu melambaikan tangannya? Tak jelas kepada siapa. Yang kita tahu, kota kita membaca kabar bahwa beberapa hari setelah perhelatan "bagi hadirin terbatas" itu, daun-daun tanaman hias dadakan segera layu. Pastilah dedaunan layu bukan karena disihir lambaian tangan para pemimpin Pan Asia Afrika.
Jika dibayangkan daun-daun itu berongga dada seperti manusia, boleh dipastikan itulah dada kempis dengan paru-parunya pada jebol. Maklum, dedaunan ini setiap saat dibekap oleh udara yang makin tebal kandungan timbal (Pb), karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), dan polutan lainnya.
"Seperti fakta yang saya sampaikan tahun lalu, kualitas udara di Kota Bandung semakin memburuk. Kita harus menyadari hal itu dan tidak terbius dengan sebutan Kota Kembang," kata staf pengajar dan peneliti Teknik Lingkungan ITB, Ir. Puji Lestari, Ph.D ("PR", 10 Mei 2005). Menurut Puji, sektor transportasi dengan penggunaan bensin bertimbal merupakan penyumbang terbesar polusi udara, yaitu timbal 28%, CO 98%, NOx 62% dan hidrokarbon 68%. Hasil riset Puji pada September 2004 menemukan polutan seperti timbal, CO, NOx dan senyawa asam (sulfat dan nitrat) di udara, di beberapa ruas jalan, sangat tinggi kadarnya. Bahkan, di daerah padat lalu lintas seperti Jln. Asia Afrika dan Jln. Merdeka, kadar CO dan NOx jauh melewati baku mutu yang diperbolehkan pemerintah Indonesia.
Asal tahu saja, kadar timbal berlebih yang terhisap manusia secara rutin, bisa menimbulkan cacat. Antara lain, sperma laki-laki, juga situasi rahim perempuan menjadi tidak subur dan oksigen tercemar yang diantarkan ke otak --apalagi pada masa pertumbuhan kanak-kanak-- bikin kepala kerap pusing. Kepala sering pusing tak jelas, pada gilirannya akan menurunkan kualitas kecerdasan.
Sementara kita merasa nyaman berkendaraan, namun sebenarnya kita tengah meracuni diri. Persisnya, racun lupa dalam berbagai ragamnya menjadi udara yang kita hirup sehari-hari dan kita terima sebagai sesuatu yang alamiah. Ini sebuah tindak menaturalisasikan pembekapan diri. Dan manusia memang makhluk yang paling lentur beradaptasi. Maka di pojokan-pojokan gelap, tubuh-tubuh kecil pengamen jalanan membekapkan aroma lem ke hidung mereka. "Melayang layang... melayang layang...."
Demikianlah kota, Bandung khususnya. Di dalamnya terhampar fakta-fakta sosial kota. Saya hanya menyajikan irisan permukaannya melalui beberapa contoh di atas. Cukup dengan kehendak menyimak, kita pun maklum, fakta-fakta sosial bukanlah semata data mati. Sebaran fakta serupa di atas menyiratkan kisah tentang bagaimana kota ini membentuk dirinya sendiri. Sebab, merujuk pada Mark Gilbert, fakta-fakta adalah konstruk sosial yang mengodifikasi dan meruangkan praktik-praktik sosial; bentuknya beragam dan kebanyakan berakar pada aktualitas banal keseharian.
Melalui arsitek dan profesor untuk bidang Rancang dan Teori pada Universitas Teknik Vienna, di Vienna, Austria itu, kita pun akan segera mafhum fakta-fakta ini: kelindan antara IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) dan bisnis real estate; lemahnya komitmen kebijakan hijau vs merangseknya penetrasi kuasa uang; kombinasi yang kian cepat antara teknik membangun gedung, ketersediaan bahan, dan organisasi industri konstruksi; jejaring korupsi tebal muka antara eksekutif dan legislatif, misalnya dalam kasus uang kadeudeuh; etik lokal untuk pembenaran pembakaran karya seni Tisna di Babakan Siliwangi; upacara-upacara lipstik lokal, tabu-tabu pengusung identitas semu, wajah-wajah yang senantiasa berhias di tengah buruknya standar higienis dan selokan mampat. Daftar itu memanjang terus. Intinya, demikian gagasan Gilbert, fakta-fakta urban sebuah kota adalah sepaket aturan-aturan kolektif, kesepakatan dan perilaku yang secara khusus menjembatani ruang-ruang dengan praktik-praktik sosial.
Nah, jika kemudian fakta-fakta keseharian berupa air busuk drainase mampat disulap menjadi "Parijs van Java", menjadi romantisme kebangkitan AA dan citra kota bermartabat, maka soal serupa itulah yang didedahkan oleh penyair merangkap kepala Dinas Tata Kota Bandung, Juniarso Ridwan ("PR", 9 Juli 2005). Bagi Juniarso, seraya mengutip puisi Soni Farid Maulana (SFM), kota hadir melalui pencitraan. "...penggalan-penggalan puisi itu bisa menangkap kilasan citra sebuah kota. Untuk memperhatikan kondisi sebuah kota, citra kota menjadi sangat menentukan dalam konteks perancangan," demikian tulisnya. Juniarso memang tak omong langsung perkara citra yang disemburkan oleh AA dan reklame. Ia memilih dan yang dipilihnya citra sesama, sebetulnya, yakni dua puisi SFM. Namun, tulisnya lagi, "Citra kota (yang) bagi penyair akan merangsang tumbuhnya imajinasi, menimbulkan inspirasi".
Maka itulah soalnya. Aktivitas seputar citra tiada lain adalah mengolah resepsi. Yakni bagaimana mengelola ihwal tindakan penerimaan atau menerima sesuatu yang bernama pesan (yang kurang lebih sebangun dengan citra). Dan sibuk-sibuk melulu di perkara menyiasati resepsi, di soal-soal menangkap, mengirim dan membenamkan citra, biasanya akan sudah terjalurkan jalannya, yaitu lebih terpaku pada identitas-identitas terkonstruksi, pada simbol-simbol (basi) yang sudah jadi. Simaklah citra dari puisi "Cafe de Flore Malam" ini: gamang di negeri asing, kafe, musim dingin dan lalu sungai Seine. Bandingkan secara sebaliknya jika kita beranggapan inilah yang terjadi manakala "yang asing" berkunjung kemari: orang-orang coklat yang ramah, cahaya matahari berlimpah, penganan penuh bumbu dan ...barang-jasa yang serba murah. Kotakah kedua citra itu? Jika ya, maka kita tak perlu perjalanan berkeringat, melainkan cukup pergi ke toko dan beli kartu pos bergambar! Bisa dibayangkan betapa amburadulnya jika pejabat utama dinas tata kota merancang-rancang kota dengan berpijak dari puisi serupa kartu pos. Puisi nihil fakta.
Saya tidak lupa bahwa puisi memang bukan berita garing. Begitu pun fakta. Keluasan dan kedalaman puisi, pun fakta, akan sebanding dengan upaya yang dikerahkan untuk menggali, mengandungkan, melahirkan, dan mengabarkannya. Kota yang sial adalah kota yang diberangus oleh penyair yang terbelit dan pejabat yang malas menyelami fakta-fakta sosial kotanya. Saya jadi teringat sebuah cerita (sangat) pendek dari Bertolt Brecht yang diterjemahkan oleh Dewi Noviami. Judulnya "Tuan K. dan Puisi". Begini ceritanya: "Berdasarkan bahan bacaan dari sebuah kumpulan puisi, Tuan K. berkata, "Para kandidat untuk jabatan-jabatan dalam pemerintahan di Roma, jika mereka tampil di depan forum, tidak boleh mengenakan pakaian yang bersaku, agar mereka tidak dapat menerima suap. Begitulah pula seharusnya para penyair, mereka tidak boleh mengenakan pakaian berlengan panjang, agar mereka tidak dapat menghamburkan bait-bait puisi murahan dari lengan baju mereka."

SETIAJI PURNASATMOKO
Anggota koletif belajar ekologi sosial, Hijau Merdeka
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Juli 2005


No comments: